Selasa, 22 Juli 2008

Percaya vs. Mempercayakan

Suatu hari diadakan sebuah lomba spektakuler, yakni menyeberangi air terjun Niagara di Amerika Serikat. Para peserta diharuskan menyeberangi air terjun tersebut menggunakan seutas tali baja sambil memegang sebatang tongkat penyeimbang sebagai satu-satunya alat bantu.
Sejak lomba dimulai banyak peserta yang sudah mencoba dan gagal. Hingga akhirnya ada seorang peserta yang dengan pengalaman dan kepiawaiannya mulai menapaki tali baja tersebut dengan mantap.
Perlahan tapi pasti, peserta yang satu ini berhasil mencapai setengah perjalanan. Seluruh penonton ternganga takjub karena tiada seorang peserta pun yang berhasil sampai sejauh itu sebelumnya.
Nampak penuh rasa percaya diri, peserta itu berhasil melampaui 3/4 perjalanan. Sejenak ia terhenti akibat tiupan angin yang mengganggu keseimbangan tubuhnya. Pada saat-saat genting tersebut, penonton seolah-olah tersedot dalam ketegangan. Akhirnya, dengan segala daya dan upaya serta konsentrasi dan motivasi yang tinggi, peserta ini berhasil menyeberangi air terjun Niagara. Diiringi tepuk tangan bergemuruh, dia menerima medali kehormatan sebagai peserta yang pemberani dan berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Tidak lama kemudian, pria ini didaulat untuk kembali lagi menyeberangi ke tempat asalnya tadi guna membuktikan bahwa keberhasilannya bukan karena faktor keberuntungan belaka. Tantanganpun diterima si lelaki ini dengan memberikan sebuah pertanyaan.
“Oke, saya akan kembali lagi menyeberangi tempat asal, namun sebelumnya ijinkan saya menanyakan satu hal: 'Apakah Saudara-saudara percaya saya bisa melakukan hal ini?'” Serentak semua penonton mengatakan, “Percaya!”. Lagi-lagi lelaki tersebut bertanya kepada penonton, “Kalau saudara-saudara percaya saya mampu melakukan hal ini lagi, siapakah di antara Anda yang bersedia bersama-sama dengan saya menyeberangi kembali air terjun ini?”
Semua penonton terdiam dan seolah-olah tidak bergerak sama sekali. “Ayo, adakah di antara Saudara yang berani?” tantang lelaki itu. “Jangan khawatir, saya akan menggendong saudara dan kita bersama-sama menyelesaikan pekerjaan ini!” jelasnya lagi. Kembali penonton tidak ada yang menjawab. Dalam keheningan, tiba-tiba seorang anak kecil menyeruak kerumunan massa dan menyatakan kesediaannya. Lelaki tersebut memanggul anak kecil itu di atas pundaknya dan langsung memulai perjalanan kembali menyeberangi air terjun Niagara.
Perjalanan kali ini tampaknya memakan waktu lebih lama dari perjalanan pertama tadi. Melewati setengah perjalanan penonton bersorak dengan keyakinan si peserta akan tiba di seberang dengan selamat. “Sungguh pertunjukan yang luar biasa!” ujar seorang reporter televisi yang meliput kejadian ini. Akhirnya tibalah si lelaki dan anak kecil yang digendongnya dengan selamat di seberang.
Gemuruh sorak-sorak penonton kembali berkumandang. Sekarang konsentrasi penonton bukan lagi kepada si lelaki melainkan kepada si anak kecil, dia pun diajak naik ke atas panggung dan diwawancarai oleh panitia lomba.
“Nak, mengapa engkau mau mengajukan diri untuk naik bersama-sama dengan laki-laki itu menyeberangi air terjun yang berbahaya ini?” tanya panitia lomba. “Karena dia adalah bapak saya!" jawab anak itu singkat.
Terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara "percaya" dengan "mempercayakan". Sikap penonton dalam cerita di atas adalah lambang dari rasa “percaya”, sedangkan keikutsertaan sang anak dalam pundak laki-laki tersebut adalah "mempercayakan".
Terkadang manusia berada pada tingkatan percaya kepada Sang Pencipta, namun tidak bersedia secara total mempercayakan hidupnya dalam iman kepada-Nya.
Seorang karyawan percaya bahwa perusahaannya mampu menghidupi keluarganya, namun tidak bersedia mempercayakan sepenuhnya akan kemampuan perusahaan tersebut sehingga pekerjaannya sehari-hari tidak fokus.
Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak selingkuh dengan wanita lain, namun tidak mempercayakan secara total keyakinannya tersebut, akibatnya rasa cemburu buta dan curiga masih saja mewarnai hubungan mereka. Seorang pimpinan percaya bahwa staf atau karyawannya mampu menyelesaikan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka, namun tidak mempercayakan sepenuhnya. Alhasil, setiap waktu selalu melakukan pengawasan super-ketat sehingga kreativitas karyawan terkebiri. Jadi, jika hidup hanya sekadar percaya berarti menunjukkan penyerahan diri yang tidak lengkap terhadap apa yang kita percaya. Hidup sekadar percaya tidak menuntut komitmen penuh. Sebagai contoh, seorang pemimpin percaya bahwa armada penjualannya mampu mencapai target bulanan sesuai dengan rapat perencanaan. Namun, tidak ada komitmen untuk memberikan bimbingan dan arahan pencapaian tersebut. "Percaya" merupakan langkah awal sebelum "mempercayakan". ::Ary Ginanjar:

PUNYA MARTIL YANG PALING KUAT?

Alkisah, ada dua orang pemuda yang pergi bersama untuk mancari ilmu. Mereka telah berjalan sangat jauh dan akhirnya mengambil keputusan untuk belajar membuat alat-alat besi di sebuah pabrik besi. Di pabrik, pelatih mengambil dua pelat besi dan dua martil untuk diberikan kepada mereka. Masing-masing pemuda mendapat satu pelat besi dan sebuah martil. Mereka diminta untuk memukul pelat besi itu dengan martil hingga putus. Setelah itu, baru ia bersedia untuk mengajarkan ilmu kepada mereka. Kedua pemuda itu mengambil peralatan dan masing-masing mencari tempat untuk mulai memukul besi. Setelah beberapa saat, pemuda pertama datang ke pelatihnya dan mengatakan kepadanya, “ Tidak bisa! Pelat besinya terlalu keras!” Selang beberapa saat, pemuda kedua juga dating. Dengan raut muka penuh keyakinan, ia berkata, “Pelatih, saya ingin bertanya, apakah ada martil yang lebih kuat?” Orang sukses mencari jalan, orang gagal mencari alasan. Setiap menghadapi kesulitan, orang yang gagal hanya dapat menyalahkan lingkungan dan mencari alasan untuk menutupi kekurangannya, karena tidak berani menghadapinya. Sebaliknya orang yang berhasil, memandang masalah sebagai”tantangan terhadap diri sendiri”. Ia terus mencari jalan keluar dan tidak pernah menghabiskan waktu atau tenaga untuk menyalahkan siapapun atau situasi apapun.   Kita harus mengandalkan diri kita sendiri untuk menanggulangi kesulitan dan menerobos hambatan. Di dalam kamus saya, tidak ada kata TIDAK MUNGKIN! :: Napoleon Bonaparte :: Kaisar Perancis,  1769-1821

PENGHALANG LANGKAH KITA

Alkisah, seorang raja yang pandai dan bijaksana bermaksud menguji kerajinan dan kepedulian rakyatnya. Pada suatu sore, sang raja diam-diam meletakkan sebongkah batu di tengah jalan yang sering dilewati orang. Letak batu itu persis di tengah jalan sehingga tidak enak dipandang dan menghalang-halangi langkah orang. Rupanya sang raja sengaja ingin mengetahui apa reaksi rakyatnya yang berlalu lalang di jalan tadi. Tampak seorang petani melintas sambil membawa gerobak barang yang tampak berat karena penuh dengan barang bawaan. Ketika melihat sebongkah batu menghalangi jalannya, ia langsung mengomel. “Dasar orang-orang disini malas-malas. Batu di tengah jalan didiamkan saja…!” Sambil terus mengerutu, ia membelokkan gerobaknya menghindari batu tadi dan meneruskan perjalanan. Setelah itu, lewatlah seorang prajurit sambil bersenandung mengenang keberanianya di medan perang. Karena berjalan kurang hati-hati, si prajurit tersandung batu penghalang dan hamper tersungkur. “ Sialan…! Kenapa orang-orang yang lewat jalan ini tidak mau menyingkirkan batu keparat ini…hah?!” teriak si prajurit marah-marah, sambil mengacung-acungkan pedangnya. Sekalipun mengeluh dan marah-marah, prajurit itu tidak mengambil tindakan apapun. Sebaliknya, ia melangkahi batu tersebut dan berlalu begitu saja. Tidak lama kemudian, seorang pemuda miskin berjalan melewati jalan itu. Ketika melihat batu penghalang tadi, dia berkata dalam hati, “Hari sudah mulai gelap. Bila orang melintas di jalan ini dan tidak berhati-hati, pasti akan tersandung. Batu ini bisa mencelakai orang.” Walaupun letih karena bekerja keras seharian, pemuda ini masih mau bersusah payah memindahkan batu penghalang ke pinggir jalan. Setelah batu berhasil dipindahkan, pemuda itu terkejut melihat sebuah benda tertanam dibawah batu yang dipindahkannya. Disitu terdapat sebuah kotak dan sepucuk surat, yang isinya berbunyi, “Untuk Rakyatku yang rela memindahkan batu penghalang ini. Karena engkau telah menunjukkan kerajinan dan kepedulianmu kepada orang lain, maka terimalah lima keping emas yang ada dalam kotak ini sebagai hadiah dari rajamu.” Pemuda miskin itu langsung bersujud syukur dan memuji kedermawanan rajanya. Dan peristiwa itu pun menggemparkan seluruh negeri. Raja telah berhasil mengajarkan arti pentingnya nilai kerajinan dan kepedulian terhadap sesama, serta keberanian dalam menghadapi rintangan. Dalam aktivitas kita menjalani kehidupan ini, baik dibidang karier, bisnis ataupun bidang profesional lainnya, kita pasti pernah mengalami hadangan ‘Batu Penghalang’ seperti cerita diatas. Setiap batu penghalang bisa diartikan sebagai rintangan, kesulitan, beban, ataupun tanggung jawab yang ada di dalam kehidupan kita. Bila sikap kita menghadapi semua hal tersebut dengan perasaan tidak sabar, jengkel, marah, menghindar dan cenderung menyalahkan orang lain sebagai penyebabnya., maka kita tidak akan pernah belajar banyak mengenai kehidupan. Karena sesunggunghnya dalam setiap kesulitan, selalu terdapat hikmah yang tersembunyi, dan pasti ada pelajaran yang mampu mematangkan dan mendewasakan mental kita.     Kita semua sedang menghadapi serangkaian kesempatan emas yang tersembunyi di balik situasi sulit :: Charles R. Swindoll:: Penulis dari Amerika

PANTANG MENYERAH

Li Pai adalah salah seorang dari 8 penyair terbesar pada zaman Thang dan Sung. Syair-syairnya dikenal semua orang, namanya harum hingga saat ini. Namun, di masa kecilnya, Li Pai adalah seorang anak yang lebih suka bermain-main, dari pada belajar membaca dan menulis. Suatu hari, ketika gurunya sedang tidak berada di tempat, ia keluar dari kelas dan bermain di tepi sungai. Ketika hendak menangkap ikan, ia melihat seorang nenek sedang memusatkan perhatiannya pada sebatang besi yang diasahnya diatas sebuah batu. Li Pai memperhatikannya selama setengah hari, namun si nenek itu tetap saja mengasah batang besi tersebut. Akhirnya dengan perasaan aneh, ia bertanya, “ Nenek, Anda sedang apa?” Nenek tua menjawab,” Saya sedang mengasah sebuah jarum untuk menyulam.” “Mengasah jarum? Batang besi sedemikian besarnya, mau diasah sampai kapan?” “Benar, nak!” nenek tua mengangkat kepala, memandang Li Pai dan berkata, “Walaupun batang besi ini besar, namun semakin diasah akan semakin kecil. Asalkan saya tidak berhenti mengasah, besi ini pasti akan menjadi jarum." Setelah mendengar ini, sekejap kemudian Li Pai menjadi sadar dan dengan cepat kembali ke sekolah. Tidak ada hal yang sulit di dunia ini, yang perlu kita cemaskan hanyalah niat dari setiap orang untuk melakukan sesuatu. Asalkan Kita memiliki cita-cita yang mulia, ingin maju dan berani berkorban dengan semangat tidak menyerah karena rintangan, ulet, ditambah tekad yang kuat, hati tidak menyerah, bekerja keras, tahan banting, jelas dapat mencapai cita-cita yang mulia dan membangun usaha besar. Satu-satunya saat dimana Anda gagal, adalah saat terakhir Anda mencoba. :: Charle Kettering ::

Pangeran Bongkok

Alkisah, di sebuah kerajaan, seorang raja memerintah dengan bijaksana dan dicintai oleh rakyatnya. Raja mempunyai seorang putra mahkota berwajah tampan dan berotak cerdas, tetapi sayangnya, sang pangeran ini mempunyai cacat fisik. Tubuhnya agak bongkok, sehingga ia tidak bisa berjalan tegap dan gagah. Akibatnya, sang pangeran menjadi pendiam, malu bergaul, dan tidak punya rasa percaya diri. Keadaan tersebut membuat hati sang raja risau. Karena bila kelak tiba saatnya sang pangeran harus nak takhta, ia pasti tidak dapat memimpin rakyatnya dengan baik karena tidak memiliki wibawa dan kepercayaan diri. Para penasehat yang setia sangat memahami kegundahan hati junjungannya itu. Setelah berembuk berulangkali, diam-diam mereka memesan sebuah patung kepada seorang pemahat istana yang sangat ahli. Para penasehat meminta pemahat itu membuat patung sang pangeran yang berwajah tampan namun dengan posisi tubuh berdiri tegap dan gagah perkasa. Nantinya, patung itu akan dihadiahkan kepada sang pangeran pada hari ulang tahunnya. Hari istimewa sang pangeran akhirnya tiba. Dalam suasana yang gembira, di hadapan raja dan permaisuri, hadiah patung berselubung kain sutera dipersembahkan kepada sang pangeran. Di situ terukir tulisan indah; “untuk calon pemimpin kami, atas nama seluruh rakyat yang mencintai pangeran”. Sang pangeran membuka selubung kain penutup sutera itu dan terpampanglah sebuah patung yang sungguh menakjubkan. Patung itu sama persis menggambarkan sosok pangeran dengan wajah yang sangat tampan - bedanya hanya pada tubuh yang tegak penuh wibawa.  Pangeran senang sekali menerima hadiah itu dan patung tersebut diletakkannya di taman belakang istana kerajaan. Setiap kali melihat patung dirinya, pangeran begitu mengagumi patung itu. Dalam hatinya pengeran berkata: “Patung pemberian ini tentu melambangkan keinginan rakyatku, memiliki raja bertubuh normal dan tegap. Sudah tentu, aku ingin menjadi seperti yang diharapkan oleh rakyatku.” Menyadari akan hal itu, setiap hari sang pangeran dengan semangat berjalan mengelilingi taman dengan patung yang berdiri tegak sebagai fokusnya. Ia membayangkan betapa berwibawanya dirinya jika mampu berdiri tegap dan tegak seperti patung itu. Pangeran pun mulai berlatih menirukan sikap berdiri tegap dan berjalan tegak seperti postur sang patung. Kebiasaan berlatih seperti itu di jalani secara konsisten dan terus-menerus dari hari ke hari, minggu demi minggu, dan bulan demi bulan. Tidak terasa, tahun pun berganti. Akhirnya, hasil yang dicapai sunggung menakjubkan. Kini sang pangeran telah memiliki tubuh setegap dan setegak seperti patung ditaman belakang istana. Raja pun sangat berbahagia dengan perubahan tersebut. Sang pangeran tampak seolah telah lahir kembali menjadi manusia baru, dengan wajah tampan berseri, berdiri dan berjalan dengan tubuh yang tegak dan tegap, serta penuh rasa percaya diri. Dan bila tiba saatnya, sang pangeranpun telah siap untuk mengemban tanggung jawab sebagai raja yang baru yang akan memerintah rakyatnya dengan penuh percaya diri dan berwibawa. Dari cerita tersebut, kita dapat menyimpulkan betapa kekuatan dari kebiasaan yang terlatih dan fokus pada tujuan, ternyata mampu mengubah apa yang semula tampak tidak mungkin menjadi mungkin, apa yang tidak bisa menjadi bisa. Sama halnya di dalam kehidupan kita. Jika kita ingin mengubah sebuah mimpi menjadi kenyataan, membuat harapan menjadi wujud nyata, membuat sesuatu yang sudah mundur menjadi maju kembali, maka kita harus berani mengambil keputusan untuk membangun kebiasaan-kebiasaan positif secara disiplin dan terus-menerus. Dengan kebiasaan-kebiasaan baru yang positif, terlatih dan konstruktif, yakinlah bahwa, kekuatan itu mampu mengantarkan kita pada kesuksesan yang gemilang. Success is my right. ::Andrie Wongso::